Satria Nusantara 1 (APARTEMEN 1512)

4 11 2013

APARTEMEN 1512

Keberadaan medali prambanan telah lama diketahui gerombolan Gudel.  Disebuah rumah besar terletak di kawasan menteng rupanya gudel tinggal.  Rumah besar bercat hitam dipagari beton setinggi 3 meter.  Gapura tinggi berhias arca garuda membuat rumah ini tertutup dan tidak mudah dimasuki siapapun.  Post sekuriti yang terletak di sebelah kiri, dijaga dua pria tinggi besar berkulit hitam.  Mungkin tamu yang tak bernyali akan minder dan mengurungkan niatnya masuk rumah ini ketika ditanyai kedua sekuriti tadi.

Dalam ruang tamu, duduk seorang pria necis dengan cincin akik yang menghiasi hampir seluruh jari tangannya.  Usianya hampir separuh abad tapi garis-garis wajahnya masih belum kentara.  Susunan rapih gigi putih membuat pria ini tampak berwibawa.  Ketampanan masih menempel di wajahnya.  Sepertinya dia serius berbicara dengan seseorang di ujung telepon.

“Bagaimana? Kamu sudah dapat kabar baru?” tanya Gudel

“Maaf bos.  Tiba-tiba hilang dari penghilatan kita? Susah diterawang.” Jawab Lidut.

“Bego.” Hardik gudel

“Maaf bos.  Saya khawatir medali sudah di pegang sama Satrio Nusantara.”

“Maaf maaf, bosen saya dengernya.”

“Rumah cokro dijaga ketat polisi bos.  Kami tidak bisa menyusup lagi.  Butuh waktu lagi supaya dia lalai.  Anak istrinya sudah tidak tinggal di klaten.  Sepertinya mereka diungsikan sementara sama si Cokro.”

“Coba kamu perdaya dia.  Tanya siapa satrio nusantara itu!”

“Kita sudah berusaha beberapa kali bos.  Dia kaya belut, susah sekali dipegang dan ditangkap.  Kita janji secepatnya akan menguak keberadaan medali dari mulutnya yang rapat itu.”

“Bagus.  Kamu harus kuak misteri ini.  Minta bantuan eyang! Jangan kelamaan!”

“Baik Boss, pegang omongan saya.”

Gudel terlihat resah.  Puluhan tahun usahanya menemukan medali prambanan belum menunjukkan hasil.  Berbagai cara sudah dilakukannya.  Pencarian ini dimulainya sejak dia tak sengaja menemukan catatan kecil sejarah yang mengungkapkan keberadaan harta nusantara yang tersimpan dan terkunci lama.  Medali prambanan merupakan kunci yang bisa mengantarkannya menemukan lokasi keberadaan harta karun tersebut.  Berbagai terawangan sudah dilakoninya melalui beberapa orang tua dan orang pintar yang terkenal di wilayah jawa.  Keberadaan harta nusantara yang dikabarkan disimpan presiden Soekarno yang beredar umum hingga saat ini masih dianggap isu belaka.  Banyak yang tidak percaya berita ini.  Tapi tidak menurut gudel.  Dia meyakini harta nusantara itu benar-benar ada.  Makanya dia sampai saat ini masih terus memburunya.  Dengan menguasai harta nusantara, dia bisa menguasai Indonesia bahkan dunia.  Padahal beberapa hari yang lalu, anak buahnya sudah menemukan orang yang menyimpan medali prambanan, namun mereka belum berhasil mendapatkannya.  Cokro telah mengendus niat gudhel dan anak buahnya terlebih dulu. Karena itu Cokro mengalihkan medali pada orang lain.

Tiba-tiba, suara perempuan memecah suasana hening di ruangan yang adem itu.

“Daddy, Inet keluar dulu yak?”

“Mau kemana seh anak daddy paling cantik sedunia ini?” canda gudhel pada Inet

“Mau jemput pacar inet dong Dii.” Balas Inet

“Emang jam berapa sampenya?” tanya Gudhel

“1 jam lagi dii.  Tadi pagi dah smsan sama inet, Mocca dah di perjalanan mo ke bandara Adi Sucipto.”

“Ooh…Mocca terbang dari Jogja? Dari mana dia?” tanya Gudhel penasaran

“Wah daddy neh gak update banget deh.  Katanya suka nonton acara Mocca di TV? Khan waktu itu dia bilang mo syuting di Prambanan.” Urai Inet

“Oh iya, daddy lupa.  Maklum  khan dah tua sayank.” Elak gudhel sambil memegang dagu anak gadisnya

“Bisa aja neh daddy. Ya udah, Inet berangkat dulu yak.” Pamit Inet

“Iya. TTDJ!” Pesan Gudhel

“Baik daddy sayank.” Inet melangkah keluar dan sebelum itu mencium tangan Gudhel penuh hormat.

Beberapa saat kemudian, Inet melaju di dalam Ford hitam punya Mocca.  Padahal  dia di rumah punya mobil sendiri pemberian sang daddy. Karena  Inet sudah janji sebelumnya pada Mocca untuk membawa pulang blacky, makanya hari ini dia menjemput Mocca dengan blacky kesayangannya.  Inet dengan blacky meluncur kencang menuju harmoni lewat sarinah.  Setelah itu mobil belok ke kiri ke arah Roxy dan kemudian masuk tol ke cengkareng.  Kebetulan siang ini kemacetan sudah terurai.  Biasanya jakarta sampai jam sepuluh disesaki mobil-mobil orang yang bekerja di sepanjang kuningan, sudirman, subroto, thamrin.  Setiap pintu keluar tol  dipenuhi barisan mobil yang mau keluar dari tol.  Panjangnya antrian membuat kemacetan di tol jagorawi terjadi mulai dari pintu masuk  cibubur, taman mini, hingga cililitan.  Pekerja komuter ke jakarta tiap tahun terus meningkat.  Otomatis kemacetan akan semakin sulit diatasi jika semakin banyak komuter bekerja menggunakan mobil pribadi. Sementara ruas jalan tetap seperti dulu dan tidak bertambah secara berarti.

Sekitar satu jam, akhirnya Inet sampe juga di bandara Sutta.  Di parkirnya blacky di terminal 2F karena Mocca dan Ibong terbang dengan garuda.  Hari ini Inet tetap cantik meski hanya memakai celana jeans panjang dan kaos sabrina warna putih.  Rambutnya dibiarkan terurai menutupi pundak dan bahunya.  Segera setelah mendapat tempat parkir, Inet keluar menuju terminal kedatangan.  Tak sabar bertemu kekasihnya yang sangat dirindunya.

Hampir bersamaan dengan kedatangan inet di bandara, pesawat yang ditumpangi Mocca dan Ibong mendarat di landasan bandara Sutta.  Pesawat turun dengan lembut nyaris tanpa goncangan hingga beberapa penumpang yang sedang tidur tidak menyadari jika mereka sudah tiba di Jakarta.  Sang pilot sudah mengantongi jam terbang tinggi.  Dia punya tanggung jawab  menjaga keselamatan dan kenyaman terbang penumpang.  Beberapa menit kemudian terdengar suara pramugari mengumumkan kepada penumpang untuk turun menggunakan pintu depan pesawat yang terhubung garbarata. Tak lama setelah itu, Mocca dan para penumpang lainnya segera beranjak keluar.  Iringan penumpang satu persatu menyusuri garbarata berjalan ke arah terminal kedatangan.  Mocca dengan cepat melangkah diikuti Ibong menuju ruang klaim bagasi untuk mengambil barang bawaan mereka.

“Cepat banget jalannya, sante aja kali.” ucap Ibong pada Mocca

“Ada yang mencurigakan.  Dari tadi ada yang ngamatin gw.  Dia ada dibelakang kita.  Waktu di pesawat dia duduk diseberang kita.” Balas Mocca berbisik pelan-pelan

“Masa seh?” tanya pelan Ibong penasaran

“Iya.  Gw jadi risih.” Ujar Mocca

“Hombreng yak?”

“Gak tau.”

Ibong pura-pura menoleh ke belakang, mencari tahu keberadaan pria yang mengikuti mereka.  Tanpa sengaja, wajahnya menatap seorang pria yang kebetulan juga tengah memandangi mereka.

“Tinggi besar dan kekar yak?” tanya Ibong berbisik

“Iya.  Dia masih ngikutin kita?”

“20 meter tepat di belakang kita.  Ngeliatin terus.”

“Kenapa lo jadi takut gitu seh?”

“Bukan takut, risih aja.  Oh iya, gw langsung cabut yak.  Inet dah nunggu gw di depan.  Tolong barang-barang bagasi anterin ke rumah.  Betewe mobil lo masih di parkir di bandara khan?”

“Hooh. Tenang aja semua gw urus.  LO cabut aja sama Inet.  Ati-ati yak!”

“Ok.  Tadi gw dah smsan sama Inet.   Gw kasih tau doi, kalo liat gw langsung jalan aja ke parkiran.  Terus gw ngikutin dia dari belakang.  Dengan begini kita bisa cepat-cepat kabur dari bandara.”

“Ohh…gitu yak.  Tenang aja,  dia gak bakal berani macam-macam di tempat umum.  Makanya sebisa mungkin lo sama Inet cepat-cepat  kabur.  Biar gak dikuntit terus.”

“Seep Bong.”

Keduanya berhenti berbicara.  Beberapa langkah sebelum tempat pengambilan bagasi, ibong belok ke arah kiri mengambil troli untuk angkut bagasi.  Sedangkan Mocca berjalan lurus mengarah ke pintu keluar terminal kedatangan.  Sebelum melewati pintu kaca yang bergeser otomatis itu, Mocca melihat Inet tengah berdiri di depan pintu kedatangan.  Hatinya menjadi senang, bisa berjumpa sesosok yang sangat dicintainya itu.  Dilambaikan tangannya pada Inet yang juga sudah melihat dirinya dari tadi. Mocca segera memberi isyarat pada Inet untuk melangkah ke tempat parkir dan dia akan menyusul mengikutinya dari belakang.  Sejurus kemudian, Inet berjalan pasti ke arah blacky di parkirkan.  Tak sekalipun menoleh ke belakang karena dia tahu ada yang mengikuti kekasihnya.  Yang dipikirkan Inet saat ini adalah segera mencapai blacky dan membawa Mocca menjauh secepatnya dari Bandara.  Cukup jauh juga ternyata tempat parkir blacky.  Tapi ini justru menguntungkan bagi Mocca karena bisa menyelinap di antara kerumunan banyak orang yang ada di terminal 2 F.  Dengan gesit Mocca melangkah mengikuti Inet.  Rasanya sulit bagi pria misterius itu mampu menemukan Mocca diantara kepadatan orang saat ini.

Berhasil juga inet mendapati blacky. Dia langsung masuk ke mobil lewat pintu sebelah kiri.  Biar Mocca saja nanti yang membawa mobil.  Di dalam mobil,  Inet terus menoleh kebelakang mobil memastikan keberadaan Mocca.  Dilihatnya Mocca tengah melangkah  dengan cepat menghampirinya.  Kurang dari semenit, Mocca sudah masuk mobil dan langsung duduk di belakang setir.  Sejenak menghela nafas, Mocca lalu memandangi Inet yang sudah kangen banget dengannya.

“Sorry babe, gak asyik banget penjemputan kali ini.”

“Gak papa ciin. Khan bukan mau kita seperti ini.”

“Gw kangen lo babe.”

“Sama.”

Beberapa saat mereka saling memandang.  Kemudian Mocca meraih tangan Inet dan meremasnya penuh kasih.  Berdebar sekali  jantung Inet mendapat sentuhan hangat tangan Mocca.  Rasanya tak mau berpisah sedetikpun dengan Mocca.

“Udah ciin cabut yuk!”

“Oh iya.  Sorry, gw kangen banget soalnya.  Lo cantik banget babe, sumpah gw cinta banget sama lo babe.”   Kata Mocca yang masih menatap dalam wajah Inet yang putih dan cantik.

“Udah ciin….ayuk jalan” ujar Inet merona

Mocca segera mundurkan blacky dari posisinya sekarang, kemudian memutar setir mobil mengambil arah kanan meluncur keluar dari tempat parkiran.  Melewati pos sebentar dan membayar sejumlah uang sekitar enam ribu rupiah.

“Dia ngikutin dari Jogja?” tanya Inet penasaran

“Iya, dari kita checkin sampe duduk sebentar di ruang tunggu babe.”

“Mo ngapain yak?”

Tadinya Mocca ingin menceritakan ini semua pasti ada kaitannya dengan medali prambanan, tapi Mocca belum merasa tepat waktunya menceritakan semua pada Inet.  Meskipun dia sangat percaya pada Inet, kerahasiaan Medali Prambanan harus tertutup rapat dulu.

“Gak tahu juga babe.”

“Pandangannya penuh nafsu gak?”

“Gak tahu juga.  Gw risih banget ada cowok ngeliatin terus.”

“Takutnya hombreng.  Siapa yang gak seneng lihat cowok ganteng kek lo cinn.  Lo tu perfek banget ciin.”

“Masa babe? Alhamdulillah, perasaan biasa aja kok.”

“Suwerr gw gak boong. Mana bisa jadi host tv kalo gak ganteng, hayooo…”

“Hehehehe…….Lo juga cantik banget babe.  Sempurna banget.”

“Aah…jangan godain gitu dong ciiinn….malu neh.”

“Sungguh, gw gila karna lo babe.  Hati gw untuk lo dan gak ada yang lainnya.  Sumpah gw cinta banget sama lo.”

“Sama, gw juga cinta banget sama lo.”

Kalo saja Mocca sedang tidak nyetir mobil, rasanya Inet ingin memeluk tubuh atletis Mocca.  Sangat dalam cintanya pada Mocca.  Mocca sangat pengertian dan perhatian.  Mocca tak akan membiarkan dirinya bersedih dan berduka sedikitpun. Mocca sudah tahu apapun yang ada dalam pikiran Inet.  Tak perlu diminta, dia sudah memberikan semuanya.  Disamping itu, Mocca adalah teman yang enak di ajak bicara. Hari-harinya bersama Mocca penuh dengan canda tawa.  Mocca adalah belahan jiwa Inet yang sesungguhnya.  Inet sangat tahu betapa dalam cinta Mocca padanya.  Makanya dia tidak pernah cemburu dengan fans Mocca.  Resiko yang harus siap diterima ketika punya pacar seorang  artist ganteng yang terkenal.

“Betewe, Ibong kemana ciin?”

“Itu dia, gw cabut duluan.  Menghindar dari penguntit itu,  gw suruh Ibong urus bagasi trus anter ke apartemen.  Mobilnya di parkir di bandara babe.”

“Oooh….” Inet manggut-manggut tanda mengerti

Keduanya melaju dengan cepat.  Dan tanpa mereka sadari sebuah mobil sudah membuntuti mereka sejak dari bandara.  Dua orang pria parlente begitu serius mengawasi mereka di dalam xenia warna hitam.  Salah satunya yang duduk di sebelah supir sedang menelpon.

“Boss, kita sedang ikutin target.”

“Siapa yang kamu ikutin?”

“Anak muda yang bawa medali.”

“Yakin sekali kamu.”

“Tadi saya di kasih kabar sama anak-anak yang jaga bandara adi sucipto. Mereka melihat benda seperti gambar yang kita punya boss.”

“Tadi kamu telpon katanya kehilangan jejak. Tidak bisa di terawang.  Trus sekarang kamu kasih kabar sudah nemuin barang itu.  Mana yang betul?”

“Mudah-mudahan ini betul boss.”

“Mudah-mudahan lagi.  Kamu di Jogja?”

“Di Jakarta Boss, saya ikut terbang ke Jakarta.”

“Bagus.  Kamu sama Jack?”

“Betul Boss, ini dia di sebelah sedang nyetir.”

“Ikuti terus.  Jangan sampai kehilangan jejak.  Titik terang sudah di depan mata. Hahahahahaha……..kerjamu bagus Dut.”

“Siap Boss.”

Lidut menyimpan hape ke dalam kantong bajunya setelah Bossnya mengakhiri obrolan.  Mata Lidut tak lepas mencengkram mobil ford hitam yang ditumpangi Mocca dan Inet.  Jalanan begitu lengang dan mobil-mobil bisa melaju dengan kencang.  Tidak seperti jalur sebelah yang cukup penuh dengan kendaraan.

“Jaga jarak Jack!” perintah Lidut

“Seep.” Jawab Jack

“Kita ikuti saja, nanti kalo sepi dan aman kita pepet mereka.” Sambung Lidut

“Sekarang aja?”

“Jangan! Kita masih di Tol, bahaya dan tidak aman.”

Mocca dan Inet belum sadar juga jika mereka tengah diikuti Lidut dan Jack.  Mobil Ford hitam masih dilajukan dengan cepat sepanjang cengkareng.  Kedua mobil itu beriringan dengan jarak beberapa meter saja.  Keduanya melenggang di jalan yang tumben sekali lengang siang ini.

“Babe, kita mampir dulu ke apartemen yak!”

“Boleh ciin.”

“Bis itu gw mo ke rumah dulu.  Mo ketemu mami bentar.”

“Oh…nginep di cikeas?”

“Enggak, maen bentar aja.”

“Ok, Inet juga kangen sama Mami.  Udah lama gak maen.”

“Hehehe…kangen mami juga yak? Anyway, lo percaya gak kalo gw turunan gajah mada?”

“Patih gajah mada? Sumpah Palapa?”

“Iya.”

“Bukannya patih gajah mada hilang tanpa kita tahu di mana rimbanya?”

“Ternyata enggak babe.  Gw keturunan ketujuh patih gajah mada. Kemaren yangti cerita banyak.”

“Oh my god. Lo turunan mahapatih yang hebat itu ciin.”

“Gw juga kaget dan ngerasa gak percaya gitu babe.”

“Kok bisa yaa dibilang hilang dan gak ketahuan rimbanya?”

“Gak tahu babe.”

Mocca terdiam sejenak.  Sebenarnya dia mau menceritakan latar belakang kenapa gajah mada hilang tak berimba.  Sementara dia masih harus merahasiakan ini demi keamanan medali prambanan.

“Oh iya, kita tunggu Ibong gak?”

“Gak usah.  Dia pegang kunci.”

“Lo percaya banget yak sama Ibong?”

“Yah, dah gw anggap seperti sodara sendiri.”

“Jangan terlalu percaya sama orang ciin.  Kita khan gak tahu aslinya kek apa.”

“Positif thingking aja babe.”

“Ini Jakarta lho ciin.”

“Iya juga seh.  Tapi selama ini yang gw amatin Ibong bisa di percaya babe. Gak pernah macem-macem.”

“Belum khan?”

“InsyaAlloh gak da apa-apa.”

Inet mencoba mengingatkan Mocca untuk tidak terlalu percaya pada siapa pun.  Kenyataannya, Mocca selama ini begitu percaya pada semua orang, baik yang sudah lama atau pun yang baru saja dia kenal.  Tak luput ini juga berlaku pada Ibong, manager yang sudah sekian lama mengatur semua jadwal dan kontrak Mocca dengan beberapa produser acara.  Kunci apartemen dibuat tiga rangkap, satu untuk dirinya, dan satu untuk Ibong.  Sepertinya ruang privasi sudah tidak dibatasi baginya dan Ibong.  Kapan saja mereka bisa masuk ke Apartemen Mocca.  Mocca terlalu baik dan berpositif thinking dengan siapa pun.  Mocca tidak begitu peduli dengan berita kriminal saat ini yang sering masuk TV.  Beberapa perampokan yang berbuntut pembunuhan lebih banyak dilakukan oleh pelaku yang ternyata punya hubungan dekat dengan para korbannya.  Penculikan anak yang dilakukan oleh pembantu rumah tangga, atau sepupu sendiri.  Dan masih banyak cerita kriminal lainnya yang lebih seram yang menyimpulkan bahwa pelaku kriminal ada di sekitar rumah dan mereka dekat dengan kita.  Waspadalah!!!

Sebelum jam sebelas siang, keduanya sudah sampai di parkiran basement apartemen.  Mocca keluar lebih dulu dari mobil dan berjalan cepat ke sebelah kiri membuka pintu mobil untuk Inet.

“Silahkan keluar my beauty princess….” gurau Mocca sambil menundukkan badannya

“Terimakasih pangeran tampanku….” balas Inet

Mocca sangat paham jika Inet sangat suka kisah putri-putri.  Direngkuhnya pinggang Inet  dan keduanya kemudian berjalan menuju lift.  Mocca menekan tombol naik yang terletak di dinding apartemen, dan beberapa saat setelah itu pintu lift terbuka.  Keduanya langsung masuk  dan kemudian Mocca memencet tombol angka 15.  Mocca sengaja memilih lantai 15 karena angka itu angka keberuntungan baginya.  Dia jadian dengan Inet pada tanggal 15 desember dan apartemennya bernomor 1512.  Dia rela membayar lebih mahal untuk mendapatkan apartemen itu.

Masih mengintai Mocca dan Inet, Lidut dan Jack menunggu di dalam mobilnya, yang berjarak 4 mobil dari Blacky milik Mocca.  Pada saat Lidut mengamati arah lift yang bergerak berhenti di angka 15,  dia sangat yakin jika Mocca tinggal di lantai 15.  Hanya butuh sedikit investigasi untuk mencari tahu di apartemen nomor berapakah Mocca tinggal di lantai itu.  Dengan kekuasaan Boss Gudhel, semua informasi mudah di dapatkan.  Kemudian Lidut kembali ke mobil dan berniat menunggu Mocca keluar.  Dia tak ingin kehilangan jejak Mocca si pembawa medali prambanan.

“Feeling lo gimana Jack?”

“Maksudnya?”

“Tuh anak, bakal keluar lagi apa enggak?”

“Bis jemput bokinnya. Anak jaman sekarang pasti doing something. ML lah…apalagi tinggal di Apartemen gini.  Bebas bro.”

“Tungguin aja.  Paling bentar doang. Hahahahahahaha…..”

“Jangan salah lo.  Sekarang banyak obat kuat beredar.”

“Halah, palagi dah lama gak ketemu, paling pengen cepet-cepet Jack. Kek gak tau aja lo.”

“Hehehehehe…..”

“Pengen bongkar mobil itu dech. Sapa tau ada di dalamnya.”

“Kalo gitu sekarang aja.  Mumpung sepi.”

“OK bro.”

Jack keluar dari mobil, dan kemudian berjalan tenang menuju mobil Mocca.  Lidut menyusul kemudian di belakang sambil mengamati situasi sekitar.  Suasana parkiran sangat senyap sekali, sungguh beruntung sekali mereka, karena aksinya tidak akan ketahuan orang.  Keduanya segera bertindak.  Namun sayang, ketika Jack akan membongkar mobil itu, suara deru mobil dari kejauhan terdengar  mendekat ke arah mereka.

“Cancel Bro.” Perintah Lidut yang kemudian berjalan menyisir kembali ke mobil

“Ups…kurang ajar tuh mobil. Mengganggu orang aja.” Jack Menggerutu

Sejurus kemudian, terlihat melaju sebuah mobil Ford warna silver.  Mobil itu parkir tepat di sebelah mobil Mocca. Seorang laki-laki tampak keluar dari mobil dan kemudian menuju belakang untuk mengambil barang.  Dia mengeluarkan sebuah koper warna hitam merk Polo dari bagasi mobil.  Setelah itu dia bergegas berjalan menuju lift.

Sementara itu, Lidut yang dari tadi terus mengamati gerak pria itu semakin yakin bahwa sang pengendara ford silver adalah pria yang sejak tadi bersama Mocca.  Dia memberikan isyarat pada Jack yang tak sengaja lagi berdiri dekat lift.  Dia seolah hendak naik lift.  Jack mengerti isyarat itu.  Dia akan mengikuti Ibong naik ke apartemen.

“Maaf mas, dari tadi saya mau naik tapi bingung soalnya gak punya kartu neh.”

“Abang mau ketemu siapa?”

“Uhm…saya mo ketemu Alex.” Balas Jack berbohong pada Ibong

“Sudah lapor sekuriti?”

“Sudah tadi.”

“Biasanya di kasih kartu tamu mas.”

“Hehehe…di bawa temen naik ke atas duluan. Saya tadi ke toilet buru-buru. Dia pikir gak perlu pake kartu. Saya telpon Hpnya lowbat.”

Ibong mengamati Jack dengan seksama.  Jack kebetulan berpenampilan parlente dan tak sedikitpun mencurigakan Ibong.

“Saya orang baik-baik dek.”

“Ohh…emang mau ke lantai berapa? Kartunya masing-masing.  Tidak sembarang masuk lantai bang.”

“Uhmm…lantai 15 kok.”

“Kalo gitu sama bang. Kebetulan saya mau ke lantai 15.  Ayok ikut saya.”

“Terimakasih banyak yak.” Senyum bual Jack

Dalam hitungan detik, lift sudah sampai lantai 15.  Jack sengaja mempersilahkan Ibong keluar duluan.

“Ok, saya duluan bang.”

“Trims banyak.”

Ibong berjalan ke arah kiri.  Dengan sigap Jack mengamati petunjuk arah. Di dinding apartemen tertempel petunjuk arah nomor.  Arah kiri menunjukkan nomor 1 sampai 20.  Langsung dia mengikuti langkah Ibong menuju kiri.  Mengetahui Jack mengikutinya, Ibong menghentikan sejenak langkahnya.

“Mo ke nomor berapa bang?”

“Nomor 20.”

“Oh…mari bang.”

“Iya silahkan.”

Ibong melanjutkan langkahnya. Jack sendiri ikut berjalan mengekori Ibong.  Cuma ada mereka berdua di sepanjang lorong apartemen.  Ketika Ibong sampai di nomor 1512, jack terus berjalan.  Seolah-olah dia akan menuju ruangan 1520.  Segera setelah mendengar ibong menutup pintu apartemen, Jack buru-buru membalikkan badannya dan berjalan cepat kembali ke lift.  Dia sudah tahu posisi di mana targetnya tinggal.  Tak lama kemudian Jack segera turun ke tempat parkir.  Untung bagi Jack, karena turun ke lantai dasar tidak perlu menggunakan kartu kendali.

“Gimana?” tanya Lidut ketika Jack menghampirinya

“Aman.  1512.” Jawab Jack

“Goodjob.” Ucap Lidut bangga

“Siapa dulu dong.” Balas Jack sedikit sombong

“Kita tunggu mereka.” Perintah Lidut

“OK.  Kapan kita bongkar rumahnya?” tanya Ibong

“Sante aja. Yang penting kita tahu dimana lokasinya.  Boss pasti senang denger berita ini.”

“Yup, pasti kita dapat bonus gedhe neh, hahahahahhaa……”

“Otomatis. Boss senang duit gampang….hahahahahaha…..”

“Ngomong-ngomong ada yang kasihan tuh.”

“Siapa?”

“Yang sama cewek tadi.”

“Kenapa?”

“Gak jadi ML soalnya temennya dateng.”

“Hahahahaha……tadi gi foreplay kali ya? Terus bingung dan batal deh karena ada tamu dateng”

“Hahahahahahaha…….” tawa kompak Lidut dan Jack geli

Sungguh kotor pikiran Lidut dan Jack.  Mereka tidak tahu jika Mocca adalah sosok pemuda yang sangat kuat beribadah.  Tidak pernah terpikir olehnya berbuat  hal yang dilarang agama.  Meskipun kadang setan melintas dalam pikiran dan menggodanya untuk berbuat mesum.  Dia dan Inet sangat menghargai kehormatan dan tak ingin menodainya sebelum pernikahan mengijinkan mereka melakukan itu.

“Oh iya, mudah bagi kita menyelinap ke dalam apartemennya.”

“Bagaimana bisa?”

“Lorong apartemen sangat sepi.  Sepertinya penghuninya sebagian besar aktif diluar seharian.  Masalah sekuriti bisa kita mainkan.  Kamera CCTV bsa kita sabotase bro.”

“Berarti kita harus jadi orang dalam.”

“Gampang.  Boss punya kuasa.”

“Oh iya, betul jack.”

“Gak ada artinya buat Boss uang sewa apartemen di sini.  Bahkan kalo perlu beli sekalian, Kecilllll……”

“Yah, dengan begitu gerakan kita bisa leluasa.”

“Tapi,  apakah dia akan simpan medali itu di dalam apartemen?”

“Dia pilih apartemen ini karena  tingkat sekuritas yang tinggi.  Karena merasa di sini aman, pasti dia akan menyimpannya di dalam apartemen ini.”

“Setuju Bro.”

“So, air so dekat…..hahahahahaha……”

“Hahahahahaha…..” keduanya tertawa lagi merasa kemenangan sudah di tangan mereka dan gerombolannya.

“Bro, lo dah pernah ketemu boss?”

“Udah lah.  Kita khan harus tahu bekerja dengan siapa?”

“Pernah ke rumahnya?”

“Belum pernah.  Kita dilarang ke rumahnya.  Selalu ketemu di restoran ato hotel.”

“Kenapa yak?”

“Mungkin boss gak mau keluarganya tahu.  Menjaga ketentraman dan keterangan keluarga aja sepertinya.”

“Ngomong-ngomong, boss punya anak berapa?”

“Boss gak pernah mau cerita tentang keluarganya.  Jadi kita gak pernah tahu siapa istrinya, siapa anaknya?  Boss punya bodyguard khusus untuk menjaga keluarganya.”

“Pantesan.  Berarti profesional aja ya kerja kita sama boss.”

“Ya begitu lah.  SSSSTTttttttt…….” perintah Lidut

“Lihat siapa tu yang keluar?”

Begitu melihat pintu lift terbuka dan terlihat Moca, Inet dan Ibong keluar menuju parkiran, serentak Jack dan Lidut merebahkan jok mobil sampai rata dan mereka berbaring menyembunyikan badannya seperti orang yang sedang tidur di dalam mobil.  Lidut dan Jack tak mau keberadaannya diketahui oleh Mocca dkk.  Dengan rebahan mereka menjadi tidak terlihat dari luar.  Kaca mobil rayban telah menyamarkan pandangan.

“Ikutin mobil itu Jack!”

“Seep..”

Mocca melaju diiringi oleh Ibong keluar dari parkiran di apartemen.  Beberapa detik kemudian Lidut dan Jack mengikuti secara perlahan.  Keduanya masih membuntuti Mocca karena ingin menggali informasi banyak mengenai dirinya.  Iringan mobil itu melaju melalui jalan MT Haryono kemudian belok kiri menuju arah bypass.

“Jack kita berhenti di depan sana.  Sepertinya mereka mo isi bensin tuh.” ujar Lidut setelah melihat sen kiri mobil yang mereka buntuti berkedip mengambil arah masuk ke pom bensin.

“OK.  Kita stop agak ke depanan yak.”

Mobil yang dinaiki Moca, Inet dan Ibong berbelok masuk ke pom bensin.  Sementara itu, Jack dan Lidut tetap lurus dan kemudian berhenti beberapa meter dekat dengan pintu keluar pom bensin.  Jack dan Lidut masih betah menunggu kemunculan mobil yang dikendarai Mocca, Inet dan Ibong.  Lidut terlihat begitu sigap dan tak mau lengah sedetik pun.  Tak ingin kehilangan targetnya.  Hanya berselang sekitar 5 menit, mobil yang diparkirnya dilalui dua mobil yang berturut-turut keluar dari pom bensin.  Sebuah Ford fiesta warna hitam (blacky) yang tadi dipake Mocca dan Ford fiesta warna silver yang dibawa Ibong masih beriringan melaju di jalan raya. Lidut menahan Jack untuk tetap berhenti dan tidak segera mengikuti kedua mobil tadi.

Sekitar 1 menit kemudian, jack menancap gas menyusul iringan mobil itu.  Kebetulan jalanan lengang sehingga mobil-mobil itu bisa berpacu cukup kencang.  Jack masih bisa menangkap keberadaan targetnya yang ada di depan.  Kurang lebih 50 meter tidak jauh di depan sana juga terdapat putaran balik arah. Jack nyaris salah arah.  Dia hampir mengikuti ford silver yang jalan lurus.  Padahal dia harus mengejar blacky yang sebelumnya sudah mengambil arah kanan dan berputar balik arah.  Mengetahui blacky balik arah, Jack memutar setir dan membuat mobil berputar balik arah mengikuti blacky yang sudah meluncur kencang ke arah UKI.

“Tancap terus Jack, jangan sampe kehilangan.”

“Mo kemana tu orang?” ucap jack sedikit gusar

“Ikutin aja!”

Blacky melaju lurus ke depan.  Setelah melewati underpass UKI, Jack dan Lidut masih mengejarnya.  Keduanya berbelok ke arah kiri dan kemudian masuk ke tol Jagorawi.  Tol masih belum macet dan lancar bebas meluncur tanpa hambatan.  Lima menit berlalu mereka sudah sampai gerbang tol taman mini.  Mobil tersebut keluar ke arah kiri, terus melingkar kekanan lewat jalur tol atas yang mengolongi tol jagorawi dan kemudian lanjut masuk tol TB Simatupang.  Seperti di tol jagorawi, jack tetap sabar membuntuti targetnya.  Padahal biasanya dia orangnya instant dan semuanya selalu ingin dibereskan dengan cepat.  Jack masih bisa menahan sabar karena disampingnya duduk lidut yang selalu ngerem pitamnya yang meluap.

Menjelang pintu keluar fatmawati, ford hitam mengedipkan lampu sen sebelah kiri.  Mengetahui mobil ini mau keluar tol, Jack ikut menyalakan lampu sen kiri mobil yang dibawanya.  Mereka terpisah 2 mobil pada saat antri membayar di loket  pintu keluar tol fatmawati.  Blacky kembali meluncur di jalan TB Simatupang. Setelah melewati perempatan rumah sakit fatmawati, mobil ambil arah kiri masuk ke dealer mobil yang terletak di daerah situ.

“Jiahhh…..ternyata ke dealer mobil.” Ujar Jack

“Kayaknya mo service mobil dia.” Timpal Lidut

“Kurang ajar. Gimana neh?”

“Tunggu aja Jack.”

“Ok lah.  Kita parkir di depan sana.”

Sekali lagi Jack harus menunggui target yang tak jelas waktunya.  Jack mulai gelisah karena dia tidak terbiasa membuntuti orang.  Karena harus menemani lidut, sampai saat ini dia masih mau duduk di sebelahnya.  Lain lagi dengan Lidut yang sudah sehari-hari bekerja memata-matai orang.  Jadi dia bisa betah berjam-jam bahkan berhari-hari  duduk mengamati targetnya.

“Dah tenang aja, jangan gelisah gitu dong!” kata Lidut menenangkan

“Bete juga neh kalo gak jelas kek gini.  Mendingan keluar dulu deh.  Masuk ke dalam sana.”

“Ya udah sana.”

“Ok Bro, gw masuk sana dulu yak.”

“Seep….”

Jack berjalan menyusuri trotoar dan kemudian masuk ke dalam dealer mobil.  Matanya masih mengamati sekitar, mencari tahu di mana gerangan targetnya berada.  Jack kemudian melangkahkan kakinya menuju tempat service yang terletak di bagian belakang dealer.  Di sana terlihat beberapa mechanic tengah mengotak-atik mobil-mobil bagus buatan eropa itu.  Tak berhenti di situ, Jack mengalihkan pandangannya ke arah kiri ke sebuah ruangan yang dipenuhi beberapa orang yang tengah duduk menunggu mobilnya selesai di servis.  Satu per satu diamati oleh Jack.  Tak berhasil ditemui sosok target yang dibuntutinya dari tadi.  Di sana tak ada Moca dan Inet.  Pikirannya mencari tahu keberadaan mereka.  Tak yakin dengan penglihatannya tadi, kembali Jack mengamati satu per satu orang yang duduk di sana.  Dan kembali lagi tak dijumpai targetnya itu.

“Wadoh…kemane neh orang?”

Belum sempat tarik nafas, tiba-tiba tepukan tangan orang dipundaknya membuat Jack kaget bukan kepalang.

“Lagi ngapain bang?”

Mendengar ada orang dibelakangnya bertanya, membuat Jack segera menoleh kebelakang mencari tahu siapa yang menyapanya.  Sekali lagi Jack dibuat kaget, pria yang ada dihadapannya tidak asing lagi.

“Kok kaget bang? Kek liat setan aja.”

“Ohh…enggak da papa kok.  Ketemu lagi kita.  Kok kamu ada di sini? Lagi servis mobil?”

“Ya iya lah bang.  Emang mau ngapain di mari? Abang sendiri lagi servis mobil juga?”

“Ehh..iya..iya…saya gi servis mobil juga.”

“Oohhh….duduk yok bang.  Oiy di sana ada white coffe tuh.” Ibong menunjuk tempat pembuatan kopi gratis di sudut ruangan.

Mendapati ibong di tempat servis membuat Jack jadi bingung.  Setahu dia, mobil yang dibuntuti dari tadi adalah mobil Mocca.  Seharusnya yang ditemuinya sekarang adalah Mocca bukan Ibong.  Apa yang telah terjadi di pom bensin tadi.  Apakah mereka tukeran mobil waktu isi bensin tadi? Jack hanya menduga-duga di mana Mocca sekarang? Kalo begini kejadiannya, alamat mereka sudah kehilangan jejak Mocca sekarang.  Mampus deh kata Jack dalam hati.

“Halooo bang? Kok bengong aja?” tanya Ibong

“Ohh…enggak, ga da papa kok.” Balas Jack

“Nomor berapa?”

“Uhm…nomor berapa yak. Tuh yang merah yang gi di servis.” Tipu Jack pada Ibong

“Oh…dah booking dari kemaren yak? Sama bang, kalo gak booking dulu repot deh.”

“Hehehehehe…iya betul.”

Jack masih gregetan menyadari kebodohannya mengikuti sasaran yang tidak tepat.  Berarti mustinya yg dia ikutin tadi adalah yang lurus.  Seharusnya yang silver saja. Sial betul hari ini.  Huft.

“Saya keluar dulu bentar yak.” Pamit Jack

“Bukannya belum selesai?”

“Hehehe…mo ke Alfa.”

“Mo beli apa bang?”

“Mo beli rokok, buat nunggu.”

“Tuh di sebelah ada toko kecil bang. Keknya jual rokok juga daripada jauh-jauh keluar.”

“Ah gak ada yang menthol di sana, hehehehe….”

“Oh gitu.”

Tak lama kemudian, Jack meninggalkan Ibong yang masih heran dengan gelagat Jack.  Meski begitu, Ibong tak ambil pusing.  Pertemuannya dengan jack serba kebetulan saja.  Sementara itu, Jack dengan cepat melangkah menuju Lidut yang masih duduk tenang di dalam mobil.

“Gawat.” Ujar Jack

“Apanya yang gawat?”

“Salah kita.”

“Apanya yang salah?”

“Gawat, ternyata salah kita nguntit mobilnya.”

“Maksudnya?”

“Yang kita untit bukan target.”

“Lho kok bisa?”

“GW dah cari kemana-mana.  Gak ada di dalam. Yang ada temennya.”

“Mobilnya khan sama dengan yang diparkiran.”

“Iya, tapi keknya mereka tukeran waktu di pom bensin tadi.”

“Taik….Jadi percuma dong.” Lidut gusar

“Iya…kurang ajar. Kita ketipu.”

“Jangan-jangan mereka sudah tahu kalo kita untit?”

“Bisa jadi mereka tahu, makanya tukeran.”

“Sial.”

“Terus gimana neh?”

“Modar.  Boss pasti marah.  Gimana laporinnya neh?

Lidut terlihat resah dan takut Gudhel marah karena dia dan Jack kehilangan jejak Mocca.  Pikirannya masih berputar-putar menemukan cara untuk memberitahu sang Boss.  Tiba-tiba wajahnya terlihat sumringah.

“Tenang saja Jack!  Kita gak usah takut.  Khan kita sudah tahu alamat tinggalnya.  Kita intai saja.  Dijamin Boss gak bakal marah sama kita.” Urai Lidut senang

“Oohh…betul sekali bro.  Gw jadi tenang juga neh.” timpal Jack ikut senang

“Ok kalo gitu kita cabut aja.” ajak Lidut

“Ok bro.” balas Jack

Akhirnya Lidut dan Jack pergi meninggalkan tempat itu.  Meskipun gagal karena pulang dengan tangan kosong, masih ada keyakinan dalam diri mereka bahwa medali prambanan masih bisa mereka dapat.  Titik lokasi tempat penyimpanan sudah ada dalam genggaman mereka.  Tinggal tunggu waktu yang tepat saja untuk melakukan operasi pencurian medali prambanan di apartemen kamar 1512 milik Mocca.


Actions

Information

Leave a comment